SYI’AH
DEFINISI SYI’AH
Syaikh kelompok Syi’ah, Muhammad bin Muhammd bin An-Nu’man, yang bergelar Al-Mufîd, berkata, “Syi’ah adalah para pengikut amirul mukminin Ali shalawatullâhi ‘alaihi di atas jalan loyalitas, meyakini keimaman (Ali) setelah Rasul shalawatullâhi ‘alaihi wa âlihi tanpa terputus, menafikan keimaman siapa saja yang telah mendahului (Ali) dalam khilafah, serta menjadikan (Ali) sebagai yang diikuti dalam keyakinan, bukan mengikut kepada salah seorang di antara mereka di atas jalan kesetiaan.” [Awâ`ilul Maqâlât hal. 38]
Syaikh mereka yang lain, Sa’d bin ‘Abdillah Al-Qummy, mendefinisikan, “Syi’ah adalah golongan Ali bin Abi Thalib yang dinamakan Syi’ah Ali pada masa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan masa setelahnya. Mereka dikenal dengan loyalitas kepada Ali dan menyatakan keimaman (Ali).”
[Al-Maqâlât Wal Firâq hal. 15]
[Al-Maqâlât Wal Firâq hal. 15]
Dalam agama Syi’ah, banyak kelompok dan aliran. Hanya, pada masa ini, penggunaan kata syi’ah tertuju kepada penganut terbanyak agama Syi’ah: Syi’ah Itsnâ Asyariyyah. Demikian keterangan salah seorang rujukan mereka, Husain An-Nury Ath-Thabarsy, dalam kitabnya, Mustadrak Al-Wasâ`il 3/311.
POKOK-POKOK KESESATAN AGAMA SYI’AH
Berbicara tentang kesesatan agama Syi’ah adalah suatu hal yang sangat panjang. Berikut beberapa simpulan ringkas tentang agama Syi’ah dari buku-buku mereka sendiri.
1. Keyakinan Kaum Syi’ah tentang Keimaman Para Imam Ahlul Bait.
Keyakinan kaum Syi’ah tentang keimaman 12 imam Ahlul Bait mengandung kekafiran yang sangat nyata. Di antara keyakinan tersebut adalah bahwa keimaman Ahlul Bait lebih tinggi daripada derajat kenabian.
2. Keyakinan Kaum Syi’ah tentang Kedudukan Para Imam Ahlul Bait
Kaum Syi’ah meyakini bahwa para imam mereka mengetahui perkara ghaib.
Dalam Ushûlul Kâfy karya ahli hadits mereka, Al-Kulîny, terdapat sejumlah riwayat dari para imam Ahlul Bait -semoga Allah merahmati mereka- tentang pengetahuan para imam akan ilmu ghaib. Riwayat-riwayat tersebut terangkai dalam sejumlah bab pembahasan, di antaranya adalah bab “Para Imam ‘alaihimus salam Mengetahui Hal yang Telah Terjadi dan Hal yang Akan Terjadi, serta Tiada Suatu Apapun yang Tersembunyi terhadap Mereka” [Ushûlul Kâfy 1/316], bab“Para Imam Mengetahui Waktu Meninggal Mereka, dan Mereka Tidak Meninggal, kecuali dengan Pilihan Mereka”[Ushûlul Kâfy 1/313], dan bab “Para Imam ‘alaihimus salam Mengetahui Seluruh Ilmu yang Keluar kepada Malaikat, Para Nabi, dan Para Rasul ‘alaihimus salam” [Ushûlul Kâfy 1/310].
3. Aqidah Raj’ah Kaum Syi’ah
Al-Ahsâ`iy dalam kalangan Syi’ah memberi definisi, “Ketahuilah bahwa raj’ah adalah rahasia dari rahasia Allah. Berpendapat dengan (raj’ah) adalah buah keimanan kepada hal ghaib. Maksud (raj’ah) adalah kembalinya para imam ‘alaihimus salam dan syi’ah-nya serta musuh-musuh mereka dari yang keimanannya telah dimurnikan atau kekafirannya dari dua golongan, dan bukan tergolong orang-orang yang telah Allah binasakan di dunia dengan suatu siksaan. Apabila telah dibinasakan dengan suatu siksaan, mereka tidak akan kembali.” [Kitâbur Raj’ah hal. 11]
Al-Majlisy menerangkan aqidah mereka, “Sungguh jiwa-jiwa yang telah pergi akan kembali dan akan melaksanakan qishash pada hari kebangkitan mereka. Siapa saja yang disiksa akan mengambil qishash dengan menyiksa (orang yang menyiksa)nya. Siapa saja yang dibuat marah akan melampiaskan kemarahannya. Siapa saja yang dibunuh akan mengambil qishash dengan membunuh (orang yang membunuh)nya, sedang musuh-musuh mereka akan dikembalikan bersama mereka sehingga mereka melampiaskan kemarahannya. Lalu, mereka dihidupkan selama tiga puluh bulan setelah (musuh) itu (dimatikan), kemudian meninggal dalam satu malam dalam keadaan telah melampiaskan kemarahan mereka dan memuaskan diri-diri mereka, sedangkan musuh-musuh mereka telah menuju siksaan neraka yang paling pedih. Selanjutnya, mereka berdiri di depan (Allah) Al-Jabbâr ‘Azza wa Jalla lalu (Allah) memberikan hak-hak mereka untuk mereka.” [Bihârul Anwâr 53/44]
Menurut Syi’ah, musuh pertama yang akan dibangkitkan adalah Abu Bakr, Umar, dan Utsman. [Bihârul Anwâr 98/293]
4. Aqidah Al-Badâ` dalam Agama Syi’ah
5. Keyakinan Taqiyyah dalam Agama Syiah
Dalam mendefinisikan taqiyyah, Al-Mufîd berkata, “Taqiyyah adalah menyembunyikan kebenaran dan menutupi keyakinan, serta menutupi (keyakinan) dari orang-orang yang menyelisihi dan tidak terang-terangan kepada mereka dalam hal yang mengakibatkan bahaya dalam agama atau dunia.” [Tash-hîhul I’tiqâd hal. 115]
Al-Khumainy berkata, “Makna taqiyyah adalah seorang manusia mengatakan suatu ucapan yang berseberangan dengan kenyataan, atau mendatangkan amalan yang bertentangan dengan timbangan-timbangan syariat. Hal tersebut untuk menjaga darah, kehormatan, atau harta.” [Kasyful Asrâr hal 147]
Keyakinan ini adalah suatu ibadah yang sangat agung di kalangan orang-orang Syi’ah.
Dalam riwayat mereka, disebutkan dari Abu Umar Al-A’jamy bahwa dia berkata: Abu Abdillah (yakni Ja’far Ash-Shâdiq) berkata kepadaku, “Wahai Abu Umar, sesungguhnya sembilan dari sepuluh bagian agama adalah taqiyyah, dan tiada agama bagi orang yang tidak memiliki taqiyyah ….” [Ushûlul Kâfy 2/133, Mansyurât Al-Fajr, Beirut, Lebanon, cet. ke-1 2007 M/1428 H]
Juga dari Sulaiman bin Khalid, dia berkata bahwa Abu Abdillah (yakni Ja’far Ash-Shâdiq) berkata, “Wahai Sulaiman, sesungguhnya kalian berada di atas suatu agama. Siapa saja yang menyembunyikan (agama) itu, Allah akan memuliakannya. (Namun), siapa saja yang menyebarkan (agama) itu, Allah akan menghinakannya.” [Ushûlul Kâfy 2/136, Mansyurât Al-Fajr, Beirut, Lebanon, cet. ke-1 2007 M/1428 H]
Bahkan, mereka berdusta dengan menisbatkan kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa “Orang yang meninggalkan taqiyyah adalah seperti orang yang meninggalkan shalat.” [Jâmi’ul Akhbâr karya Ibnu Bâbawaih Ash-Shaqûq hal. 110 dan Bihârul Anwâr 74/412 karya Al-Majlisy]
Keyakinan batil kaum Syi’ah ini menutupi segala kedustaan dan kontradiksi mereka. Sehingga, bila ditanyakan kepada mereka, “Mengapa Ali membaiat Abu Bakr, Umar, dan Utsman?” Mereka akan menganggap bahwa hal tersebut adalah taqiyyah, “Mengapa banyak kontradiksi ditemukan dalam buku-buku Syi’ah?” Mereka akan menjawab, “Itu taqiyyah.”
An-Nubakhty menukil dari Sulaiman bin Jarir bahwa Sulaiman berkata, “Sesungguhnya, untuk syi’ah mereka, para imam Rafidhah meletakkan dua keyakinan yang, dengan (dua hal) itu, tidak akan tampak suatu kedustaan apapun dari para imam mereka. Dua keyakinan itu adalah keyakinan al-badâ` dan pembolehan taqiyyah. Adapun al-badâ`, itu karena para imam di tengah Syi’ah mereka menduduki kedudukan para nabi di tengah rakyat dalam keilmuan pada hal yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Apabila sesuatu yang mereka katakan terjadi, mereka berkata, ‘Bukankah kami telah memberitahu kalian bahwa hal ini akan terjadi? Dari Allah, kami mengetahui hal yang para nabi ketahui. Antara kami dan Allah terdapat sebab-sebab yang para nabi mengetahui hal yang mereka ketahui.’ Kalau sesuatu yang mereka katakan akan terjadi itu tidak terjadi, mereka berkata, ‘Telah terjadi al-badâ` pada Allah dalam hal tersebut.’.”[Firaq Asy-Syi’ah hal. 64-65]
Bahkan maksud utama keyakinan taqiyyah ini adalah untuk mengeluarkan dan menjauhkan Syi’ah dari keislaman. Mereka menyebut riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa beliau berkata, “Hal-hal yang kalian dengar dariku yang menyerupai ucapan manusia (yaitu kaum muslimin), padanya ada taqiyyah. (Sedangkan), hal-hal yang engkau dengar dariku yang tidak menyerupai ucapan manusia, tiada taqiyyah di dalamnya.” [Bihârul Anwâr 2/252]
6. Sikap Kaum Syi’ah terhadap Al-Qur`an
Banyak kekafiran kaum Syi’ah dalam keyakinan mereka tentang Al-Qur`an. Seorang muslim yang mengetahuinya pasti dadanya akan sesak dengan ucapan-ucapan mereka.
Di antara keyakinan mereka adalah bahwa Al-Qur`an, yang berada di tangan kaum muslimin, telah berkurang dan telah diubah atau diganti.
Dalam riwayat Al-Kulîny dengan sanadnya dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq disebutkan, “Sesungguhnya Al-Qur`an yang Jibril bawa kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi adalah sebanyak tujuh belas ribu ayat.” [Ushûlul Kâfy 2/350, Mansyurât Al-Fajr, Beirut, Lebanon, cet. ke-1 2007 M/1428 H]
7. Sikap Kaum Syi’ah terhadap Sunnah Rasulullah SAW
Dalam keyakinan kaum Syi’ah, seluruh hadits yang tidak berasal dari jalur Ahlul Bait tidaklah diterima.
Salah satu rujukan mereka, Muhammad Husain Âlu Kâsyifil Ghithâ, berkata, “Sesungguhnya Syi’ah tidak menganggap (sesuatu) sebagai sunnah, kecuali hal-hal yang telah shahih untuk mereka melalui jalur-jalur Ahlul Bait …. Adapun riwayat Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, ‘Amr bin ‘Âsh, dan semisalnya, itu tidaklah bernilai (semisal) seekor lalat di kalangan orang-orang Syi’ah Imamiyyah.” [Ashlush Syi’ah wa Ushûluhu hal. 79]
8. Sikap Kaum Syi’ah terhadap Para Shahabat
Dalam buku-buku mereka, terdapat riwayat dari Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir bahwa beliau berkata, “Manusia adalah murtad setelah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi, kecuali tiga orang. Saya (perawi) bertanya, ‘Siapakan ketiga orang itu?’ Beliau menjawab, ‘Al-Miqdâd, Abu Dzarr, dan Salman Al-Fârisy.’ ….” [Raudhatul Kâfy 8/198, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H]
Mereka meriwayatkan pula dari Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata kepada Qunbur, “Wahai Qunbur, bergembiralah dan berilah kabar gembira, serta selalulah merasa gembira. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi meninggal, sedang beliau murka terhadap umatnya, kecuali Syi’ah.” [Al-Amâly karya Ash-Shadûq hal 726]
Al-Majlisy berkata, “Sesungguhnya, tergolong sebagai keharusan aksioma agama Imamiyah: penghalalan mut’ah, haji Tamattu’, serta berlepas diri dari Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Mu’âwiyah.” [Al-I’tiqâdât karya Al-Majlisy hal. 90-91]
Ucapan-ucapan keji kaum Syi’ah terhadap para shahabat dan istri-istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini sangatlah banyak.
9. Kesyirikan di Kalangan Kaum Syi’ah
Muhammad bin Ali Ash-Shadûq membawakan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq bahwa Ja’far berkata,“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memiliki makhluk dari rahmat-Nya. Allah menciptakan mereka dari cahaya-Nya dan (menciptakan) rahmat-Nya dari rahmat-Nya untuk rahmat-Nya. Mereka adalah mata Allah yang melihat, telinga-Nya yang mendengar, dan lisan-Nya yang berbicara di tengah makhluk-Nya dengan seizin-Nya, serta para kepercayaan-Nya terhadap apa-apa yang (Allah) turunkan berupa udzur, nadzar, dan hujjah. Dengan mereka, (Allah) menghapus dosa-dosa, menolak kesedihan, menurunkan rahmat, menghidupkan yang mati, dan mematikan yang hidup. Dengan mereka, (Allah) menguji makhluk-Nya dan menetapkan putusan-Nya di tengah makhluk-Nya.” Perawi bertanya, “Semoga Allah menjadikanku sebagai penebusmu. Siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mendapat wasiat.”[At-Tauhîd karya Ash-Shâduq hal. 167, cet. Dârul Ma’rifah, Beirut]
Dalam Mustadrak Al-Wasâ`il, Ath-Thabarsy membuat bab berjudul “Kebolehan Thawaf di Kuburan”.
Dalam Amâly Ath-Thûsy, Muhammad bin Hasan Ath-Thûsy menyebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa Ja’far berkata, “Sesunggunya Allah Ta’âlâ telah menjadikan tanah kakekku, Husain ‘alaihis salam, sebagai penyembuh untuk segala penyakit dan pengaman dari segala kekhawatiran. Apabila salah seorang dari kalian mengambil (tanah) itu, hendaknya dia mencium dan meletakkan (tanah) itu pada kedua matanya lalu melewatkan (tanah) itu pada seluruh jasadnya. Hendaknya dia berkata, ‘Ya Allah, dengan hak tanah ini dan hak orang yang menyatu dan tertanam di dalam (tanah) ini, dengan hak ayahnya, ibunya, saudaranya, dan para imam dari keturunannya, dan dengan hak para malaikat yang mengitarinya, pasti Engkau menjadikan (tanah) ini sebagai obat untuk segala penyakit, penyembuh untuk segala penyakit, keselamatan dari segala bahaya, dan pelindung dari segala yang aku khawatirkan, serta aku berhati-hati terhadap (tanah) ini.’ Lalu, dia menggunakan tanah tersebut.” [Amâly Ath-Thabarsy, Mu`assasah Al-Wafâ`, Beirut, cet ke-2, 1401 H]
Banyak sekali bentuk kesyirikan kaum Syi’ah yang tidak bisa kami detailkan dalam tulisan ringkas ini, seperti (1) menjadikan para imam mereka sebagai perantara antara makhluk dan Allah; (2) Beristighatsah kepada Allah dengan menyebut imam-imam mereka; (3) Kewajiban ziarah ke kubur Al-Husain dan kekafiran orang yang meninggalkan kewajiban ini; (4) Kebolehan melaksanakan thawaf, shalat dan bersungkur di kuburan; serta kesyirikan lain. Kesyirikan kaum Syi’ah meliputi segala hal: dalam Rubûbiyyah, Ulûhiyyah dan Al-Asmâ` wa Ash-Shifât.
10. Sikap Kaum Syi’ah terhadap Kaum Muslimin
Syaikh Kaum Syi’ah, Nikmatullah Al-Jazâ`iry, berkata, “Kami tidaklah bersepakat dengan mereka (kaum muslimin) pada ilah (sembahan). Tidak pada nabi, tidak pula pada imam. Hal tersebut adalah karena mereka (kaum muslimin) berkata bahwa Rabb mereka adalah Rabb Yang Muhammad adalah nabi-Nya dan khalifah-Nya setelah Nabi-Nya adalah Abu Bakr. Kami tidak berkata dengan Rabb ini tidak pula dengan nabi tersebut. Namun, kami berkata bahwa Rabb yang khalifah Nabi-Nya adalah Abu Bakr bukanlah Rabb kami, dan nabi itu bukanlah nabi kami.” [Al-Anwârun Nu’mâniyyah 2/278, cet. Al-A’lamy Lil Mathbû’ât, Beirut, 1404 H]
Muhaqqiq mereka, Yusuf Al-Bahrany, menyebutkan kekafiran kaum muslimin di kalangan orang-orang Syi’ah dalam ucapannya, “Tahqiq yang diambil dari kabar-kabar Ahlul Bait ‘alaihimus salam -sebagaimana penjelasan kami, yang tidak memerlukan tambahan, dalam kitab Asy-Syihâbuts Tsâqib- bahwa seluruh orang yang menyelisihi lagi mengetahui keimaman dan mengingkari keyakinan (keimaman) adalah para nawâshib*, orang-orang kafir, dan orang-orang musyrik yang tidak memiliki jatah dan bagian dalam keislaman tidak pula dalam hukum-hukum (Islam) ….” [Al-Hadâ`iqun Nâdhirah 14/159]
*Note:
Nawâshib adalah bentuk jamak dari kata nâshib, yaitu gelar yang mereka gunakan untuk kaum muslimin yang tidak sepaham dengan mereka.
Nawâshib adalah bentuk jamak dari kata nâshib, yaitu gelar yang mereka gunakan untuk kaum muslimin yang tidak sepaham dengan mereka.
Mereka juga menghalalkan darah dan harta kaum muslimin serta menganggap bahwa kaum muslimin adalah kafir dan najis sebagaimana dalam banyak buku mereka dengan berbagai riwayat. Biarlah Yusuf Al-Bahrany mewakili mereka. Dia berkata, “Tiada silang pendapat di kalangan shahabat kami dan selainnya dari yang berpendapat dengan keyakinan ini tentang kekafiran, kenajisan, serta kehalalan darah dan harta nâshib. Juga bahwa hukum terhadap (nâshib) adalah sama dengan hukum terhadap kafir harby.” [Al-Hadâ`iqun Nâdhirah 10/42]
Karena kekafiran kaum muslimin itulah, dalam buku-buku mereka, terurai tentang ketidakbolehan menikahi kaum muslimin, mengerjakan shalat di belakang kaum muslimin, menshalati jenazah kaum muslimin, dan menjatuhkan hukum bahwa kaum muslimin kekal dalam neraka.
Demikian sebagian kesesatan dan kekafiran agama Syi’ah. Meski masih banyak hal yang belum bisa disebut pada tulisan ini, semoga tulisan ini bermanfaat bagi sebagian kaum muslimin, yang tertipu oleh kaum Syiah, agar mereka rujuk kepada Islam yang benar, dan semoga menjadi bekal seorang muslim untuk teguh di atas agama. Wallahu A’lam.
Para ulama mencatat ada banyak kesamaan antara ajaran Syi’ah (Imamiyah/Rafidhah) dengan agama Yahudi dan Nashrani, di antaranya:
1. Agama Yahudi mengatakan, tidak sah kerajaan kecuali pada keturunan Daud Alaihissalaam. Dan agama Syi’ah mengatakan, tidak sah kepemimpinan kecuali pada keturunan Ali Radhiyallahu ‘Anhu.
2. Agama Yahudi mengatakan, tidak ada jihad fi sabilillah sampai bangkitnya Dajjal dan turun pedang dari langit. Dan agama Syi’ah mengatakan, tidak ada jihad fi sabilillah sampai muncul Al Mahdi dan terdengar suara memanggil dari langit.
3. Agama Yahudi menunda sembayang sampai munculnya bintang. Dan agama Syi’ah menunda Maghrib sampai munculnya bintang.
4. Orang-orang Yahudi merubah Taurat dan Syi’ah mengubah Al Qur’an.
5. Orang Yahudi memusuhi Jibril Alaihissalaam dan mengatakan dia adalah musuh kami dari kalangan Malaikat. Begitu pula kaum Syi’ah mengatakan Jibril Alaihissalaam keliru menyampaikan wahyu kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Bersamaan dengan kemiripan-kemiripan di atas, ajaran Syi’ah berbeda dari agama Yahudi dan Nashrani dalam satu hal. Yaitu apabila orang Yahudi ditanya, “Siapa sebaik-baik penganut agama kalian?”. Mereka akan menjawab, “Para shahabat Musa Alaihissalaam”. Dan apabila orang Nashrani ditanya, “Siapa sebaik-baik penganut agama kalian?”. Mereka akan menjawab, “Para shahabat Isa Alaihissalaam”. Dan apabila orang Syi’ah ditanya, “Siapa sejelek-jelek penganut agama kalian?”. Mereka akan menjawab, “Para shahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam”. Minhajus Sunnah An-Nabawiyah (1/24)
AHMADIYAH
Pendahuluan
Menjaga kemurnian aqidah dan ajaran Islam adalah kewajiban bersama, seluruh umat Islam. Khususnya, kewajiban ini diemban oleh para ulama kaum muslimin. Untuk membentengi aqidah umat Islam Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah para ulama dan cendekiawan muslim di Indonesia di dalam Rakernas MUI Desember 2007 telah menetapkan 10 (sepuluh) Kriteria Aliran Sesat, sebagai berikut :
1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima.
2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (Al-Qur`an dan As-Sunnah).
3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur`an.
4. Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur`an.
5. Melakukan penafsiran Al-Qur`an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
6. Mengingkari kedudukan hadits Nabi SAW sebagai sumber ajaran Islam.
7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.
8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.
9. Mengubah, menambah, dan/atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak lima waktu.
10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syariah, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ajaran Ahmadiyah merupakan ajaran yang haq atau sebaliknya, sebagai ajaran yang sesat dan menyesatkan?
Berdasarkan hasil penelitian, ajaran Ahmadiyah memiliki banyak perbedaan dan kesesatan prinsipil, baik dari sisi aqidah maupun tata cara ibadah– dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mulai dari perbedaan nama-nama bulan dan tahun, predikat kota suci, penafsiran Al-Qur`an, kedudukan hadits Nabi SAW, dan lain sebagainya.
Selain itu, kehadiran Ahmadiyah juga menjadi pemicu bentrokan di mana-mana.
Oleh karena itu, sebagai wujud kepedulian kita terhadap Islam, mari kita buktikan, apakah ajaran Ahmadiyah termasuk ke dalam 10 Kriteria Aliran Sesat MUI ataukah tidak? Apakah Ahmadiyah itu masuk ke dalam kategori perbedaan keyakinan ataukah penodaan agama?
- Mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam dan rukun Islam yang lima
Pada Rukun Iman.
Ajaran Ahmadiyah meyakini 6 (enam) Rukun Iman. Rukun Iman Ahmadiyah sama dengan Rukun Iman Ahlu Sunnah wal Jamaah, yaitu (1) Beriman kepada Allah; (2) Beriman kepada para malaikat Allah; (3) Beriman kepada kitab-kitab Allah; (4) Beriman kepada para utusan Allah; (5) Beriman kepada hari Kiamat; (6) Beriman kepada ketentuan Allah, yang baik dan yang buruknya.
Pada Rukun Islam.
Ajaran Ahmadiyah juga meyakini Rukun Islam. Rukun Islam Ahmadiyah sama dengan Rukun Islam Ahlu Sunnah wal Jamaah, yaitu : (1) Syahadat; (2) Shalat; (3) Zakat; (4) Puasa; (5) Haji.
Akan tetapi, orang-orang Ahmadiyah ketika mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu :
أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
“Aku bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad itu adalah utusan Allah,”
Maka yang dimaksud dengan Muhammad di dalam syahadat mereka adalah ditujukan kepada Mirza Ghulam Ahmad. Hal ini dikarenakan Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Ahmad dan Muhammad.
Di dalam buku-bukunya, Mirza Ghulam Ahmad selalu mengaitkan nama Ahmad dan Muhammad yang disebutkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur`an bahwa yang dimaksudkan oleh Allah SWT tersebut adalah dirinya, Mirza Ghulam Ahmad.
Sebagai buktinya, kami kutipkan beberapa keterangan dari kitab-kitabAhmadiyah. Di antaranya :
1. Mirza Ghulam Ahmad mengaku bernama Ahmad
Di dalam tafsir Al-Qur`an versi Ahmadiyah yaitu Al-Qur`an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, editor Malik Ghulam Farid, dialihbahasakan oleh Panitia Penterjemah Tafsir Al-Qur`an Jemaat Ahmadiyah Indonesia jilid III Edisi Pertama Penerbit Yayasan Wisma Damai Jakarta 1983, bahwa makna kata Ahmad di dalam surah Ash-Shaff ayat 6 yang berbunyi,
ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨﭩ
“dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad),” (QS Ash-Shaff [61]: 06) adalah ditujukan kepada Mirza Ghulam Ahmad. Penjelasan ayat ini oleh Ahmadiyah ditafsirkan di dalam footnote 3037 sebagai berikut : “…jadi, nubuatan yang disebut dalam ayat ini ditujukan kepada Rasulullah SAW, tetapi sebagai kesimpulan dapat pula dikenakan kepada Hadhrat Masih Mau’ud AS, Pendiri Jemaat Ahmadiyah, sebab beliau telah dipanggil dengan nama Ahmad di dalam wahyu (Barahin Ahmadiyah), dan oleh karena dalam diri beliau terwujud kedatangan kedua atau diutusnya yang kedua kali Rasulullah SAW…”(Al-Qur`an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, footnote no. 3037, hal. 522).
2. Mirza Ghulam Ahmad mengaku bernama Muhammad dan Rasul
“Apakah kalian masih ragu-ragu (bimbang) menerima saya, bahwa Tuhan yang mengutus saya di Qadian (India) sebagai Nabi Muhammad SAW, untuk memenuhi janji kepada umatnya?” (Review of Religion jilid 15, hal. 115 no.3)
“Nabi Muhammad SAW telah turun kembali di Qadian (India), akan tetapi dalam keadaan lebih mulia dari sebelumnya. Kalau ada orang yang mau melihat Nabi Muhammad SAW dalam keadaan lebih sampurna, lihat saja Mirza Ghulam Ahmad di Qadian (India).” (Al-Badar, Qadian 25 Oktober 1907).
“Barangsiapa yang tidak memahami akan kedatangan Masih Mau’ud sebagai kedatangan Nabi Muhammad SAW yang kedua kalinya, maka berarti dia telah mengingkari ajaran Al-Qur`an. Karena di dalam Al-Qur`an telah dijelaskan beberapa kali bahwa Nabi Muhammad SAW akan turun kembali ke dunia ini.”(Kalamatul Fashal, Review of Religion, Qadian jilid 14, hal. 105 no.3 oleh Mirza Bashir Ahmad)
- Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (Al-Qur`an dan As-Sunnah)
Di dalam ajaran Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad telah mengajarkan akidah yang tidak sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Misalnya :
- Meyakini ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
Mirza Ghulam Ahmad mengutip QS Ash-Shaff [61]: 9, kemudian dia menafsirkannya sebagai berikut, “Di dalam wahyu ini nyata benar, bahwa aku (Mirza Ghulam Ahmad) dipanggil dengan nama Rasul.” (Eik Ghalti Ka Izalah, Terjemahan, JAI Cabang Bandung, 1993 hal. 4).
Di dalam koran Jayakarta, Jumat Kliwon 1 Juli 1988, tokoh Ahmadiyah yang bernama Syafi R. Batuah pernah diwawancara oleh wartawan Jayakarta, dan hasil wawancaranya diberi judul, “Mencari Nabi dari India.” Berikut kutipannya, “Dalam percakapan ini, Syafi R. Batuah mengakui memang ada perbedaan prinsipil dengan umat Islam pada umumnya. Ahmadiyah, mempunyai seorang Nabi dari India yang diutus oleh Tuhan, bernama Mirza Ghulam Ahmad. Bagi jemaat Ahmadiyah menyebut nama ini harus diawali dengan kata hormat Al-Hajrat artinya yang mulia.”
Dalam buku Ahmadiyah Apa dan Mengapa?, Syafi R. Batuah, Cetakan XVII, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986:
Rasulkah Mirza Ghulam Ahmad? “Menurut Al-Qur`an setiap nabi adalah rasul dan sebaliknya setiap rasul adalah nabi. Seorang dikatakan nabi karena ia mendapat khabar ghaib dari Allah swt. (subhanahu wa ta’ala) yang menyatakan ia adalah seorang “nabi”. Dan ia diutus oleh Allah swt kepada manusia. Selaras dengan itu Hadhrat Mirza Ghulam a.s adalah nabi dan rasul.” (hal. 5)
Haruskah orang Islam percaya pada Mirza Ghulam Ahmad? “Menurut ajaran Al-Qur`an mengenai kepercayaan pada Nabi kaum mukmin tidak boleh membeda-bedakan. Mereka harus mendengar dan patuh pada semua Nabi, terutama kepada Nabi yang ada pada masa mereka. Hal ini berlaku terhadap Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Beliau ialah nabi dan rasul Allah. Karena itu orang-orang Islam harus percaya padanya. Kalau tidak demikian mereka tidaklah mengikuti seluruh ajaran Al-Qur`an. Di samping itu Nabi Muhamad saw. sendiri berpesan tegas bahwa kalau datang imam Mahdi yang dijanjikan beliau di akhir zaman maka orang-orang Islam harus ikut padanya walau halangan apa juga yang menghambat. Karena Imam Mahdi itu sudah datang – yaitu Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.- maka orang-orang Islam harus taat pada beliau. Kalau tidak begitu mereka tidak mengindahkan pesan Nabi Muhamad saw. Kebenaran dakwaan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s dapat diuji dengan al-Qur`an dan Hadis.” (hal. 22-23)
- Membuat nama-nama bulan sendiri.
Nama-nama bulan Ahmadiyah berbeda dengan nama-nama bulan di dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Nama-nama bulan di dalam ajaran Ahmadiyah adalah sebagai berikut:
1. Suluh
|
5. Hijrah
|
9. Tabuk
|
2. Tabligh
|
6. Ihsan
|
10. Ikha
|
3. Aman
|
7. Wafa
|
11. Nubuwwah
|
4. Syahadat
|
8. Zhuhur
|
12. Fatah
|
Begitu pula nama tahun Ahmadiyah berbeda dengan nama tahun Islam. Nama tahun Ahmadiyah adalah Hijri Syamsi yang disingkat HS.
- Mempunyai 2 kota suci sendiri, yaitu Qadian (India) dan Rabwah (Pakistan).
Di dalam sebuah artikel yang berjudul MENJADI TAMU ALLAH, Suatu Reportaseyang ditulis oleh Ny. Kamilah Daniel, dia menuliskan, “Sejak lama saya berhasrat besar untuk melihat kedua kota suci zaman akhir, Qadian di India dan Rabwah di Pakistan. Namun baru di penghujung tahun 79 yang lalu saya diundang Tuhan ke sana. Sengaja saya memakai istilah “diundang”, sebab menurut wahyu Ilahi yang diturunkan kepada wujud suci Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ahmad a.s.: “Telah Aku sediakan orang-orang dari seluruh penjuru bumi untuk datang ke tempatmu”. Selama kami berada di kedua kota suci itu kami selalu disebut tamu-tamu Allah, karena kedua hal inilah saya memakai istilah diundang itu. Keyakinan sebagai “tamu Allah” meresap jauh ke dalam lubuk hati, yang mampu meampakkan panorama indrawi yang serba indah.”
Dari artikel tersebut dapat dipastikan bahwa orang-orang Ahmadiyah menganggap suci kedua kota tersebut, Qadian di India dan Rabwah di Pakistan. Kalaulah anggapan penulis yaitu Ny. Kamilah Daniel ini salah, sudah pasti pihak Ahmadiyah tidak akan mempublikasikan tulisan tersebut.
- Membuat komplek pekuburan yang diklaim sebagai Komplek Kuburan Surgawi (Bahisti Maqbarah).
Ny. Kamilah Daniel meneruskan tulisannya, “Bahisti Maqbarah adalah taman makam, dimana jasad wujud suci Imam Mahdi a.s. dan Khalifahnya yang pertama terbaring untuk selamanya. Taman ini adalah satu tempat yang diperlihatkan oleh Allah Ta’ala kepada Pendiri Jemaat Ahmadiyah lewat kasyaf, sebagai sebuah taman ahli surga. Taman itu sendiri adalah taman biasa bagi pemandangan orang Indonesia. Ia merupakan kebun kecil ditumbuhi beraneka pohon dan bunga-bungaan. Akan tetapi bila kita mengamati lebih jauh dari segi geografisnya, taman ini merupakan keajaiban alam. Sungguh suatu taman di atas sebidang tanah yang tidak terlalu luas ditumbuhi pepohonan yang menghijau dan subur, menyejukkan suasana. Sedangkan di sekelilingnya terhampar tanah keras yang berdebu dan gersang.”
Jemaah Ahmadiyah mempunyai kapling kuburan surga di Qadiyan (kuburan Mirza Ghulam Ahmad). Ahmadiyah menjual sertifikat kuburan surga tersebut kepada jamaahnya dengan mematok harga yang sangat mahal. (copian sertifikat kuburan surga di Rabwah, dari buku Ahmad Hariadi, Mengapa Saya Keluar dari Ahmadiyah Qadiyani, Rabithah Alam Islami, Makkah Mukarramah, 1408 H/1988 M, hal. 64-65).
- Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur`an
Dari tulisan-tulisan yang tercantum di dalam buku-buku Ahmadiyah bisa disimpulkan jika Ahmadiyah meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur`an. Berikut ini kami kutipkan sebagiannya :
- Mirza Ghulam Ahmad mengaku menerima wahyu.
“Aku bersumpah dengan nama Tuhan, yang memiliki diriku dan dengan kebesaran-Nya! Kata-kataku semua ini bersumber pada wahyu suci Ilahi. Tiada perlu bersilat lidah perihal lain, memadailah sudah hal ini bagi orang yang hatinya telah menjadi gelap pekat sebab mengingkari daku.” (Bahtera Nuh, hal. 124).
- Para pengikut Mirza Ghulam Ahmad meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad menerima wahyu berupa potongan-potongan ayat-ayat suci Al-Qur`an.
”Saya kira, yang sudah yakin bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu memang orang yang tulus dan memang dipilih oleh Allah SWT sebagai mujaddid, maka wahyu dalam bentuk apa pun tergantung Allah SWT. Apakah wahyunya merupakan potongan-potongan Al-Qur`an atau bukan potongan Al-Qur`an, bukan urusan Mirza Ghulam Ahmad, tetapi urusan Allah SWT.”(Benarkah Ahmadiyah Sesat? Penerbit: PB GAI Yogyakarta, hal. 13).
- Pengakuan tokoh Ahmadiyah, H. Sayuti Aziz Ahmad (tokoh Ahmadiyah senior) yang pernah diwawancarai oleh INDO. POS, Jawa Pos News Network (JPNN) yang mana hasil wawancaranya dipublikasikan pada Kamis, 8 September 2005, di sana dia mengatakan, “Untuk dapat menjalankan titah Nabi Mirza Ghulam Ahmad, umatnya harus memahami isi “Kitab suci” Tazkiroh. Uniknya, umatnya justru banyak yang rajin membaca Al-Qur`anul karim.”
- Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur`an
Kami berkeyakinan bahwa Ahmadiyah telah mengingkari keotentikan Al-Qur`an.
- Dengan mencetak kitab Tadzkirah yang mencantumkan tulisan yang berbunyi,”wahyun muqaddasun” yang artinya ”wahyu suci.” Seolah-olah Ahmadiyah ingin mengatakan jika mereka mempunyai kitab suci selain Al-Qur`an, karena”wahyu” yang diterima Mirza Ghulam Ahmad pun bertuliskan ”wahyu suci.”
- Dengan menggunakan nama-nama bulan yang berbeda dengan kaum muslimin, maka hal ini berarti Ahmadiyah mengingkari otensitas Al-Qur`an. Hal ini dikarenakan nama-nama bulan yang dipakai kaum muslimin (nama bulan-bulan Qamariyah dari Muharram - Dzulhijjah) adalah nama-nama bulan yang langsung diberikan oleh Allah SWT untuk kaum muslimin dan telah diterangkan di dalam Al-Qur`an surah At-Taubah [09]: 36:
ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa,” (QS At-Taubah [09]: 36).
Dengan bukti ini, artinya mereka telah mengingkari keotentikan Al-Qur`an, karena mereka tidak mau memakai nama-nama bulan yang digariskan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur`an.
- Melakukan penafsiran Al-Qur`an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir
Telah terbukti bahwa Ahmadiyah telah melakukan penafsiran Al-Qur`an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir. Berikut ini kami kutipkan tafsir Al-Qur`an versi Ahmadiyah yang bernama, ”Al-Qur`an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jilid III, Edisi Pertama, Yayasan Wisma Damai Jakarta, 1983 hal. 525-527 ketika membahas surah Al-Jumu’ah.
Surah 62
AL-JUMU’AH
Diturunkan
|
:
|
Sesudah Hijrah
|
Ayatnya
|
:
|
12, dengan bismillah
|
Rukuknya
|
:
|
2
|
Waktu Diturunkan dan Hubungan dengan Surah-surah Lainnya.
Surah ini agaknya diturunkan beberapa tahun sesudah Hijrah (lihat ayat 4). Dalam surah sebelumnya telah disinggung nubuatan Nabi Isa a.s. tentang kedatangan Nabi Ahmad a.s. .....Surah ini kemudian mengisyaratkan pula kepada gejala rohani yang akan terjadi pada suatu ketika kelak dengan perantaraan wakil agung Rasulullah s.a.w. ialah Masih Mau’ud.....Menjelang penutup, ditekankannya soal kepentingan salat Jum’at dan tersirat bahwa di zaman kedatangan Rasulullah s.a.w. kedua kali yang diumpamakan sebagai salat Jum’at...
“Dan Dia akan membangkitkan di tengah-tengah suatu golongan lain dari antara mereka, yang belum pernah bergabung dengan mereka dan Dia-lah Yang Mahaperkasa, Maha bijaksana.”
________________
3046. ....Isyarat di dalam ayat ini dan di dalam hadis Nabi s.a.w. yang termasyhur tertuju kepada pengutusan Rasulullah s.a.w. sendiri untuk kedua kali dalam wujud Hadhrat Masih Mau'ud a.s. di akhir zaman......Jadi, Alquran dan hadis kedua-duanya sepakat bahwa ayat ini menunjuk kepada kedatangan kedua kali Rasulullah s.a.w. dalam wujud Hadhrat Masih Mau'ud a.s.
Kami ajukan pertanyaan, ”Apakah ada para ahli tafsir yang menafsirkan ayat ini seperti tafsir Ahmadiyah?” Jika ada, tolong disebutkan! Dari bukti ini sudah sangat jelas jika Ahmadiyah menafsirkan Al-Qur`an tidak sesuai dengan kaidah-kaidah tafsir.
- Mengingkari kedudukan hadits Nabi SAW sebagai sumber ajaran Islam
Ahmadiyah mengaku jika mereka memakai hadits-hadits Rasulullah SAW sebagai rujukan kedua setelah Al-Qur`an. Akan tetapi, banyak yang tidak tahu jika Mirza Ghulam Ahmad pernah berkata seperti ini, ”Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA buang saja ke tempat sampah!” (Barahin Ahmadiyah jilid 5 hal. 238).
Menurut kami, ucapan Mirza Ghulam Ahmad ini menandakan jika dia telah mengingkari kedudukan hadits Rasulullah SAW sebagai sumber ajaran Islam. Hal ini dikarenakan Mirza Ghulam Ahmad menolak hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Padahal, Abu Hurairah adalah seorang sahabat yang paling banyak menghafal dan meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah SAW.
- Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul
Di dalam buku-buku karangan Mirza Ghulam Ahmad, dia sering menuliskan kata-kata bernada pelecehan terhadap para nabi dan rasul Allah SWT.
Berikut ini petikannya :
- “Mukjizat-mukjizat yang turun untuk membuktikan saya (Mirza Ghulam Ahmad) sebagai nabi adalah lebih banyak daripada mukjizat Nabi Musa AS,” (Haqiqatul Wahyi hal. 83).
- “Ramalan dan mukjizat saya (Mirza Ghulam Ahmad) lebih banyak daripada mukjizat ratusan nabi.” (Review of Religion jilid 1 hal. 393, Al-I’tisham Lahore, 9 Desember 1966).
- “Mein kabhi Adam kabhi Musa kabhi Ya’qub hun niz Ibrahim hun naslein hein meri besyumar.” (bahasa Urdu, yang artinya, “Saya (Mirza Ghulam Ahmad) adalah Nabi Adam AS, Nabi Musa AS, Nabi Ya’qub AS dan Nabi Ibrahim AS, dan saya mempunyai banyak silsilah keturunan.” (Dure Samin hal. 123).
- ”Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Barahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatku manifestasi dari semua nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, aku Seth, aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ismail, aku Ya’qub, aku Yusuf, aku Musa, aku Dawud, aku Isa dan aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad s.a.w., yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi (Haqiqatul Wahyi, hal. 72).” (Sinar Islam, edisi Nopember 1985, hal. 12).
- ”Telah ditiupkan ruh Maryam kepada saya (Mirza Ghulam Ahmad), dan ditiupkan pula ruh Isa. Kemudian saya dijadikan hamil dalam isti’arah (kiasan), dan setelah beberapa bulan; kurang lebih 10 bulan saya dijadikan Isa ibnu Maryam, maka saya adalah Ibnu Maryam itu.” (Kasyti Nuh hal. 47, Ruhani Khazain jilid 19, hal. 50, karangan Mirza Ghulam Ahmad).
- Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir
Sudah sangat jelas jika Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai nabi dan rasul.Berikut ini petikannya :
- ”Dan Allah lah yang menggenggam ruhku, Dia lah yang telah mengutusku dan menamaiku Nabi...dan Allah memberikan bukti-bukti yang jelas atas kebenaran pengakuanku yang bukti-bukti tersebut mencapai angka 300.000 bukti,” (Tatimmah Haqiqatil Wahyi, hal. 503).
- ”Tatkala aku menjadi reinkarnasi dari Nabi Muhammad SAW yang telah ada sebelumnya sejak lama, (maka) aku pun menerima kenabian reinkarnasi,” (Ruhani Khazain jilid 18, Eik Ghalti Ka Izalah hal. 215).
- ”Dengan pengayoman melalui Muhammad Al-Musthafa, aku dinamai Muhammad dan Ahmad. Maka aku pun merupakan seorang nabi dan rasul,” (Ruhani Khazain, jilid 18,Eik Ghalti Ka Izalah, hal. 211).
- Di dalam majalah bulanan resmi Ahmadiyah, ”Sinar Islam” edisi 1 Nopember 1985 (Nubuwah 1364) dalam rubrik Tadzkirah disebutkan, “Dalam wahyu ini, Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Barahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatku manifestasi dari semua nabi, dan memberiku nama mereka…” (Haqiqatul Wahyi hal. 72). (Sinar Islam edisi 1 Nop 1985, hal. 11-12).
5. “Buktinya baru-baru ini seorang Ahmadi ditanyai oleh seorang yang tidak menyetujui pendirianku: “Orang yang kamu sudah bai’at di tangannya, dia mengaku menjadi nabi dan rasul.” Ia menjawab dengan kata-kata yang mengingkarinya, padahal jawaban demikian itu adalah salah. Yang sebenarnya adalah bahwa itu wahyu suci dari Allah SWT yang diwahyukan kepadaku, di dalamnya mengandung kata-kata rasul, mursal dan nabi bukan hanya sekali atau dua kali, malah beratus-ratus kali digunakan.”(Eik Ghalti Ka Izalah,hal.3)
6. Di dalam Buku Putih Kami Orang Islam, disebutkan,
“Menolak atau mengingkari seorang Nabi berarti menolak atau mengingkari semua Nabi (An-Nisa 150-151; Asy-Syu’ara 105, 123, 141, 160, 176). – (Buku Putih Kami Orang Islam, hal. 70)
“Setiap orang yang bermaksud menyerang padaku berarti orang itu menaruh dirinya dalam api yang menyala-nyala. Ketahuilah orang itu bukannya menyerang padaku, tetapi menyerang pada wujud (Allah) yang mengutusku. Wujud itu berfirman: “Inni Muhiinun man araada ihaanataka.” Maksudnya: “Aku akan menghina orang-orang yang bermaksud menghinamu.” (Buku Putih Kami Orang Islam, hal. 90)
- Mengubah, menambah, dan / atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak lima waktu.
Mirza Ghulam Ahmad mengajarkan dan menyebarkan ajaran yang tidak sesuai dengan dalil syar’ie (Al-Qur`an dan As-Sunnah). Misalnya :
- Membolehkan bersentuhan kulit dengan wanita bukan mahram
“Mirza Ghulam Ahmad sering dipijat oleh perempuan-perempuan yang bukan mahramnya. Tapi, karena dia adalah seorang nabi, maka tidak menjadi dosa. Bahkan menjadi keberkahan bagi perempuan yang suka memijatnya itu.” (Al-Hukam Qadiyan, jilid 11 no. 13, 17 April 1907).
- Mengharamkan jihad
“Selama 17 tahun aku mengarang buku-buku dalam rangka menyokongimperialis Inggris dan menyuruh meninggalkan jihad. Karena jihad itu sekarang diharamkan dan tidak boleh seorangpun menentangnya bahkan harus tunduk dan berserah diri kepada pemerintah Inggris karena itu merupakan nikmat dari Allah atas kita…” (Ruhani Khazain jilid 13 hal. 2-9)
- Tidak haji ke Mekkah
”Orang-orang yang menunaikan ibadah Haji ke Mekkah adalah sesuatu hal yang biasa saja, kecuali mereka datang ke Qadian, maka mereka akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.” (Aaina Kamalat Islam, hal. 352)
- Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syariah, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Di dalam Kalimatul Fashl/Review of Religion jilid 14 hal. 110 dikatakan, “Setiap orang yang beriman kepada Nabi Musa AS tapi tidak beriman kepada Nabi Isa AS, atau beriman kepada Nabi Isa AS tapi tidak beriman kepada Nabi Muhammad SAW, atau beriman kepada Nabi Muhammad SAW tapi tidak beriman kepada Masih Mau’ud (Mirza Ghulam Ahmad), maka orang tersebut adalah KAFIR. Bukan hanya kafir biasa, tapi benar-benar kafir dan dia sudah ke luar dari garis/lingkaran agama Islam.” (Kalimatul Fashl/Review of Religion karya Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad bin Mirza Ghulam Ahmad, jilid 14 hal. 110).
L.D.I.I.
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) adalah nama baru dari sebuah aliran sesat di Indonesia,
yang selama ini sudah sering barganti nama karena sering dilarang oleh pemerintah Indonesia.
yang selama ini sudah sering barganti nama karena sering dilarang oleh pemerintah Indonesia.
Lembaga ini didirikan oleh Nurhasan Ubaidah Lubis (luar biasa), pada awalnya bernama Darul Hadits, pada tahun 1951. Karena ajarannya meresahkan masyarakat Jawa Timur, maka Darul Hadits dilarang oleh PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) Jawa Timur.
Setelah dilarang, Darul Hadits berganti nama dengan Islam Jama’ah. Selanjutnya berganti nama menjadi LEMKARI (Lembaga Karyawan Dakwah Islam), kemudian setelah itu berganti nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia).
Pokok-Pokok Kesesatan LDII
- Orang Islam di luar kelompok mereka adalah kafir dan najis, termasuk orang tua sekalipun.
- Kalau ada orang di luar kelompok mereka yang melakukan shalat di masjid mereka, maka bekas tempat shalatnya dicuci karena dianggap sudah terkena najis.
- Mati dalam keadaan belum bai’at kepada amir/imam LDII, maka akan mati jahiliyah (mati kafir).
- Al-Qur’an dan Hadits yang boleh diterima adalah yang manqul (yang keluar dari mulut imam atau amir mereka). Yang keluar/diucapkan oleh mulut-mulut yang bukan imam atau amir mereka, maka haram untuk diikuti.
- Haram mengaji al-Qur’an dan Hadits kecuali kepada imam/amir mereka.
- Dosa bisa ditebus kepada sang amir/imam, dan besarnya tebusan tergantung besar-kecilnya dosa yang diperbuat, sedang yang menentukannya adalah imam/amir.
- Harus rajin membayar infaq, shadaqah dan zakat kepada amir/imam mereka, dan haram mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah kepada orang lain.
- Harta benda orang di luar kelompok mereka dianggap halal untuk diambil atau dimiliki walaupun dengan cara bagaimanapun memperolehnya seperti mencuri, merampok, korupsi, menipu, dan lain-lain, asal tidak ketahuan/tertangkap. Dan kalau berhasil menipu orang Islam di luar golongan mereka, dianggap berpahala besar.
- Harta, uang zakat, infaq, shadaqah yang sudah diberikan kepada imam/amir, haram ditanyakan kembali catatannya atau digunakan kemana uang tersebut.
- Haram membagikan daging kurban atau zakat fitrah kepada orang Islam di luar kelompok mereka.
- Haram shalat di belakang imam yang bukan dari kelompok mereka. Kalaupun terpaksa sekali, tidak usah berwudhu’ karena shalatnya harus diulang lagi.
- Haram nikah dengan orang di luar kelompok.
- Perempuan LDII/Islam Jama’ah kalau mau bertamu ke rumah orang yang bukan kelompok mereka, maka mereka memilih waktu pada saat haid, karena badan dalam keadaan kotor (lagi haid) sehingga ketika (kena najis) di rumah non LDII yang dianggap najis itu tidak perlu dicuci lagi; sebab kotor dengan kotor, tidak apa-apa.
- Kalau ada orang di luar kelompok mereka yang bertamu di rumah mereka, maka bekas tempat duduknya dicuci karena dianggap kena najis.
Orang JIL Tidak Paham Tauhid
Nurcholis Majid menafsirkan Laa ilaaha illAllah dengan arti tiada tuhan (t kecil) kecuali Tuhan (T besar). Padahal Rasulullah, para sahabat dan para ulama dari zaman ke zaman meyakini bahwa makna Laa ilaaha ilAllah adalah tiada sesembahan yang benar kecuali Allah. Dalilnya adalah firman Allah, “Demikian itulah kuasa Allah Dialah sesembahan yang haq adapun sesembahan-sesembahan yang mereka seru selain Allah adalah (sesembahan) yang batil.” (Al Hajj 22:62). Nah satu contoh ini sebenarnya sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa ajaran JIL adalah sesat karena menyimpang dari petunjuk Rasulullah dan para sahabat. Walaupun dalam mempromosikan kesesatannya mereka menggunakan label Islam, tapi sesungguhnya Islam cuci tangan dari apa yang mereka katakan.
JIL .
Orang JIL Tidak Paham Kebenaran
Ulil Abshar mengatakan bahwa semua agama sama, semuanya menuju jalan kebenaran, jadi Islam bukan yang paling benar katanya. Padahal Al Qur’an dan As Sunnah menegaskan bahwa Islamlah satu-satunya agama yang benar, yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam” (QS Ali Imran 3:19). Nabi juga bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah ada seorang pun yang mendengar kenabianku, baik Yahudi maupun Nashrani kemudian mati dalam keadaan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa kecuali pastilah dia termasuk di antara para penghuni neraka” (HR. Muslim). Kalau Allah dan Rasul-Nya sudah menyatakan demikian, maka anda pun bisa menjawab apakah yang dikatakan Ulil ini kebenaran ataukah bukan?
Orang JIL Tidak Paham Islam
Para tokoh JIL menafsirkan Islam hanya sebagai sikap pasrah kepada Tuhan. Maksud mereka siapapun dia apapun agamanya selama dia pasrah kepada Tuhan maka dia adalah orang Islam. Allahu Akbar! Ini adalah jahil murokkab (bodoh kuadrat), sudah salah, merasa sok tahu lagi. Cobalah kita simak jawaban Nabi ketika Jibril bertanya tentang Islam. Beliau menjawab, “Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan berhaji ke baitullah jika engkau sanggup mengadakan perjalanan ke sana” (HR. Muslim). Siapakah yang lebih tahu tentang Islam; Nabi ataukah orang-orang JIL ?
Orang JIL Menghina Syari’at Islam
Orang JIL Menghina Syari’at Islam
Ulil Abshar mengatakan bahwa larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam sudah tidak relevan lagi. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian” (QS Al Ma’idah 5:3). Kalau Allah Yang Maha Tahu sudah menyatakan bahwa Islam sudah sempurna sedangkan Ulil mengatakan bahwa ada aturan Islam yang tidak relevan – tidak cocok dengan perkembangan zaman – maka kita justeru bertanya kepadanya : Siapakah yang lebih tahu, kamu ataukah Allah?!
Orang Tidak Tahu Kok Diikuti ?
Demikianlah beberapa contoh kesesatan pemikiran JIL. Kita telah melihat bersama betapa bodohnya pemikiran semacam ini. Kalaulah makna tauhid, makna Islam adalah sebagaimana yang dikatakan oleh mereka (JIL) niscaya Abu Jahal, Abu Lahab dan orang-orang kafir Quraisy yang dimusuhi Nabi menjadi orang yang pertama-tama masuk Islam. Karena mereka meyakini bahwasanya Allah-lah pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, yang mampu menyelamatkan mereka ketika tertimpa bencana, sehingga ketika mereka diombang-ambingkan oleh ombak lautan mereka mengikhlashkan do’a hanya kepada Allah, memasrahkan urusan mereka kepada-Nya.
Namun dengan keyakinan semacam ini mereka tetap saja menolak ajakan Nabi untuk mengucapkan Laa ilaaha illAllah. Bahkan mereka memerangi Rasulullah, menyiksa para sahabat dan membunuh sebagian di antara mereka dengan cara yang amat keji. Inilah bukti bahwa orang-orang JIL benar-benar tidak paham Al Qur’an, tidak paham As Sunnah, bahkan tidak paham sejarah !!
website sontoloyo
BalasHapus